Setiap musim haji tiba jalan-jalan dan tempat-tempat pemberangkatan jamaah calon haji, seperti masjid dan kantor-kantor terutama masjid dan kantor Kementerian Agama (dahulu : Departemen Agama), asrama haji, dan embarkasi haji di Tanah Air kita mesti ramai dan berjubel warga masyarakat yang hendak melepas anggota keluarga, tetangga, teman, dan mungkin atasannya di tempat mereka bekerja.
Saya sendiri sering berada di tengah-tengah keramaian seperti itu. Setiap kerumunan warga ada yang tampak sedih dengan mata berkaca-kaca meneteskan air mata, ada yang cerah ceria sambil sibuk bercerita dengan orang di dekatnya, ada pula yang serius dan antusias memperhatikan perkembangan yang terjadi dengan para jamaah calon haji yang akan diberangkatkan hari itu. Sudah tentu bagi warga yang belum berkesempatan menunaikan ibadah haji berharap suatu saat juga bisa berangkat seperti itu. Sementara bagi yang akan berangkat berharap agar di perjalanan pergi, selama di tanah suci, dan kepulangannya ke tanah air lancar dan selamat serta memperoleh haji yang mabrur.
Kata mabrur merupakan kata yang paling popular terkait dengan ibadah haji. Saya pikir hal ini wajar karena memang sebagaimana yang sering kita dengar sendiri terutama dari ustadz atau penceramah dalam acara “syukuran haji” atau ada juga yang menyebut “walimatussafar”, bahwa ada hadits “Dan tiada balasan bagi haji yang mabrur melainkan surga” (HR. Ahmad). Hadits lain, “Dan haji yang mabrur tiada balasannya melainkan surga” (Muttafaq ‘alaih).
Sudah tentu saya dan Anda berharap seperti itu untuk mereka yang menunaikan ibadah tersebut. Namun saya selalu bertanya-tanya pada diri sendiri, “Apakah haji saya memang benar mabrur ?” Sedang kebanyakan orang apabila sudah pulang dari tanah suci menunaikan ibadah haji, lebih-lebih minggu-minggu dan bulan-bulan pertama dari kepulangannya, terkesan merasa gembira dan bercerita sana sini untuk menunjukkan bahwa hajinya mendapat predikat mabrur tadi. Anda boleh coba bertanya kepada mereka bagaimana hajinya itu. Dengan semangat mereka akan bercerita bisa mencium langsung hajar aswad sekian kali, mengusap pintu ka’bah sekian kali, mendekati maqam Ibrahim dan hijir Ismail sekian kali, tuntas melaksanakan shalat arba’in di Masjid Nabawi, berada di depan pintu maqam Nabi SAW, itupun ditambah dengan berbagai cerita keanehan yang tidak dialami orang lain. Belum lagi cerita yang bisa masuk ke goa Hira’, shalat di Masjid Qiblatain, mendatangi goa Tsur, maqam pahlawan Uhud, dan lain-lain. Pokoknya, dengan semua cerita itu mengesankan bahwa haji yang dilakukan sebagai haji yang sukses dan mabrur.
Itulah mengapa termasuk Anda tidak perlu heran jika mereka kebanyakan setelah pulang langsung berubah total dalam berpakaian dari yang sebelumnya. Peci putih dan baju gamis yang pada umumnya juga putih serta sorban yang dibelinya di toko-toko atau jalan-jalan sekitar masjid Nabawi ataupun Masjid al-Haram meskipun di toko-toko di daerah kita berada pakaian itu juga dijual, selalu dipakainya terutama ketika menghadiri acara-acara yang dihadiri orang banyak. Bahkan saya pernah juga mendengar seorang teman dengan gaya menyindir, “Itu, pak Haji … kok pecinya hitam, malu ya pakai yang putih, pakai peci putih !”
Setelah saya merenung, lalu bertanya lagi pada diri sendiri, “Apakah benar kemabruran haji itu bagi yang punya banyak cerita terutama yang aneh-aneh, lalu setelah pulang ditandai dengan perubahan total dalam berpakaian peci putih, gamis putih, dan sorban ?” Salah seorang tetangga saya justru bertanya pada saya agak menggelitik, “Kalau begitu, kasihan juga dengan orang-orang miskin seperti saya ini yang sulit bahkan tidak mungkin jika dilihat dari kenyataan keuangan bisa haji dan shalat di Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi?” Saya terdiam bingung menjawabnya. “Mengapa ?“ dengan singkat saya balik bertanya. Ternyata akhirnya saya memahami yang dia maksudkan. Memang banyak orang terutama yang sudah haji, lebih-lebih yang hajinya bahkan ditambah dengan umrahnya sudah sekian kali memberi kesan seolah-olah yang diberi kunci untuk membuka pintu surga hanyalah mereka itu. Saya sempat juga merenung, “Jika benar kunci pintu surga hanya milik orang yang sudah haji dan umrah, berarti surga nanti tidak banyak penghuninya karena mayoritas orang muslim adalah orang yang tidak mampu dari segi keuangan untuk melaksanakan serangkaian ibadah di tanah suci”.
Kemudian, saya teringat guru atau kiyai saya pernah memberikan pengajian tentang yang dimaksud dengan kata mabrur. Beliau menjelaskan bahwa dalam kitab Riyadhush-Shalihin disebutkan “Al-Mabruru huwa alladzi la yartakibu shahibuhu fihi ma’shiyatan” (Mabrur itu adalah orang yang bersangkutan tidak melakukan maksiat). Sudah tentu maksiat ini tidak dilakukannya selama sesudah mentapkan niat akan haji, selama di tanah suci, dan terutama setelah yang bersangkutan pulang dari tanah suci. Sejauh mana hal ini saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari ? Jawabnya ada pada diri saya dan siapa saja yang sudah haji. Yang jelas saya sendiri tidak tahu sejauh mana saya telah melaksanakan ayat Al-Quran, “Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafas, berbuat fasik dan berbantah-bantahan dalam haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal” (QS. Al-Baqarah: 197).
Ibadah haji bukanlah produk budaya yang bisa dianggap sahih atas pertimbangan pandangan dan kebiasaan kebanyakan orang. Ibadah haji bukan pula sekedar raihan gelar haji atau hajah sepulang dari Makah, atau rihlah (wisata) spiritual, hanya untuk melihat aura ka’bah dan jejak-jejak peninggalan para teladan sepanjang zaman. Ia memiliki pertanggungjawaban ukhrâwî sekaligus mengemban amanah sosial (ardlî).
Setelah saya selesai menunaikan ibadah haji, tidak berarti selesai segala-galanya. Justru saya memulai masuk pintu gerbang awal menuju ibadah dan pembinaan kesalehan sosial lainnya. Ibadah haji ada yang menyebutnya sebagai klimaks, karena ibadah yang satu ini menjadi penutup kewajiban pengabdian seorang Muslim secara individual, bukan kewajiban sosial. Haji bukanlah gengsi maupun prestasi sosial, lebih-lebih jika ada yang suka membangga-banggakan sudah ke sekian kali pergi haji dan umrah, melainkan gengsi kualitas kemanusian. Ia menjadi puncak kedewasaan mental-spiritual seorang manusia. Hampir dalam setiap ibadah, tak terkecuali haji, tujuannya adalah meraih ketakwaan. Dan, sebagai rukun terakhir bagi kesempurnaan seorang Muslim, ibadah haji menjadi titik untuk mempertemukan sinergisasi keduanya; kewajiban individual sekaligus amanah sosial. Inilah haji mabrûr, yang pahalanya diterima di sisi Allah SWT. Bukan berarti juga segala upaya saya telah selesai karena telah menunaikan ibadah haji dan ibadah lainnya dalam rukun Islam seperti salat, puasa, dan zakat. Sebagai manusia kita memiliki potensi lupa, khilaf, dan dosa. Maka kita tetap perlu terus-menerus sepanjang kehidupan hingga ajal menjemput berbuat kebajikan dan memperbanyak bekal takwa. Sebab jangan-jangan meskipun kita telah menunaikan ibadah-ibadah tersebut, bisa jadi kita justru masuk ke dalam golongan orang-orang yang bangkrut (al-Muflis). Mengapa ?
“Tahukah kalian semua, siapakah orang yang bangkrut itu? Tanya Rasulullah kepada para sahabatnya merekapun menjawab : orang yang bangkrut menurut kita adalah mereka yang tidak memiliki uang dan harta benda yang tersisa. Kemudian Rasulullah menyampaikan sabdanya : Orang yang benar-benar bangkrut di antara umatku ialah orang yang di hari kiamat dengan membawa (sebanyak-banyak) pahala shalat, puasa dan zakat; tapi (sementara itu) datanglah orang-orang yang menuntutnya, karena ketika (di dunia) ia mencaci ini, menuduh itu, memakan harta si ini, melukai si itu, dan memukul si ini. Maka di berikanlah pahala-pahala kebaikannya kepada si ini dan si itu. Jika ternyata pahala-pahala kebaikannya habis sebelum dipenuhi apa yang menjadi tanggungannya, maka diambillah dosa-dosa mereka (yang pernah di dzaliminya) dan ditimpakan kepadanya. Kemudian dicampakkanlah ia ke api neraka”. (HR. Muslim).
Akhirnya, dengan perenungan makna ibadah haji seperti ini, maka sepulang kita dari tanah suci merupakan momentum untuk meningkatkan amal kebajikan dan menambah bekal takwa sepanjang kehidupan. Hal ini berarti juga kita senantiasa menggunakan akal sehat (ulul albab) dengan berzikir kepada Allah dalam arti yang luas, sehingga insya Allah kita termasuk yang akan meraih tathma’innul qulub (ketenteraman hati) (QS. Ar-Ra’d: 28). Hati saya pun akan menjadi hati yang bersih penuh kedamaian (qalbun salim) (QS. Asy-Syu’ara’: 89). Dengan meraih tathma’innul qulub dan qalbun salim insyaallah kita akan memperoleh khusnul khatimah dengan nafsul muthma’innah (jiwa yang tenang) dan penuh kebahagiaan (QS. Al-Fajr: 27-30), amin !