BADAL HAJI, HAJI BERKALI-KALI, DAN UMRAH SUNNAH BERKALI-KALI (BAGIAN KEDUA)
Oleh : Hasysa
Kajian Fiqih tentang Haji Berkali-kali dan Umrah Sunnah Berkali-kali
Haji dan Umrah Nabi SAW
Berapa kali Nabi saw haji dan umrah selama hidupnya ? Di antara dalil untuk menjawab pertanyaan ini adalah hadits dari Ibnu Abbas :
أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلم اعْتَمَرَ أرْبَعَ عُمَرٍ: عُمْرَةَ الحُدَيْبِيّةِ وعُمْرةَ الثّانيَةِ منْ قابِلٍ وَعُمْرَةَ القَضَاءِ في ذِي القَعْدَةِ وعُمْرةَ الثّالِثَةِ منَ الجِعْرَانَةِ والرّابِعَةَ التي مَعَ حَجّتِهِ. (شرح سنن الترمذي18/ 148)
“Sesungguhnya Nabi saw melaksanakan umrah empat kali : pertama, umrah Hudaibiah; kedua, umrah qadha’ pada bulan Dzulqa’idah dari Qabil; ketiga, umrah dari Ji’ranah; dan keempat, umrah berbarengan dengan haji (wada’/haji Islam) beliau.” (Syarhu Sunan at-Tirmidzi, 18 : 148)
Dalam redaksi Imam Ahmad dari Ibnu Abbas :
اعْتَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعَ عُمَرٍ عُمْرَةَ الْحُدَيْبِيَةِ وَعُمْرَةَ الْقَضَاءِ وَالثَّالِثَةَ مِنْ الْجِعِرَّانَةِ وَالرَّابِعَةَ الَّتِي مَعَ حَجَّتِهِ (مسند أحمد 5/ 111)
“Nabi saw melaksanakan umrah empat kali : umrah Hudaibiah, umrah qadha’, umrah dari Ji’ranah; dan keempat, umrah berbarengan dengan haji (wada’/haji Islam) beliau.” (Musnad Ahmad, 5 : 111)
Dari beberapa referensi, dapat dirangkum tentang umrah Nabi saw : pertama, umrah Hudhaibiyah pada tahun 6 H. Beliau dan para sahabat menurut suatu riwayat, yang sedang berbaiat di bawah pohon, mengambil miqat dari Dzul Hulaifah Madinah. Pada perjalanan umrah ini, kaum Musyrikin menghalangi kaum Muslimin untuk memasuki kota Mekah. Akhirnya, terjadilah perjanjian Hudaibiyah. Salah satu materinya, bahwa kaum Muslimin harus kembali ke Madinah, tanpa dapat melaksanakan umrah yang sudah direncanakan. Kemudian, kaum Muslimin mengerjakan umrah lagi pada tahun berikutnya, dan inilah yang dikenal dengan umrah Qadha‘ pada tahun 7 H. Selama tiga hari Nabi saw berada di Mekah. Ketiga, umrah Ji’ranah pada tahun 8 H. Umrah terakhir, pada waktu Nabi saw mengerjakan haji Wada’ (haji Islam) pada tahun 10 H. Semua umrah yang beliau kerjakan terjadi pada bulan Dzul Qa‘idah.[1] Demikian juga pada waktu haji wada’ dilaksanakan Nabi saw pada bulan Dzul Qa’idah untuk ihramnya, sedangkan pelaksanaan ritualnya dilaksanakan pada bulan Dzul Hijjah.[2]
Berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, baik riwayat Tirmidzi maupun Ahmad beserta penjelasan para ulama yang dirangkum tersebut, dapat disimpulkan bahwa Nabi saw selama hidupnya hanya melaksanakan haji satu kali yang dikenal dengan haji wada’ (haji Islam). Sedangkan umrah hanya beliau saw laksanakan empat kali yang kemudian terkenal : pertama, umrah Hudaibiah; kedua, umrah qadha’; ketiga, umrah Ji’ranah; dan keempat, umrah haji (wada’/haji Islam).
Realitas di Masyarakat
Sekedar untuk mendapatkan sekilas gambaran tentang realitas di masyarakat kita ini terkait dengan haji dan umrah ada baiknya kita simak tulisan ahli hadits sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub, yang dipublikasikan pada tanggal 8 Februari 2012 yang lalu dalam http://www.jurnalhaji.com, sebagai berikut :
Medio April ini, Allah memberikan kesempatan kepada kami untuk menengok putra semata-wayang kami yang sejak tahun lalu belajar di Universitas Islam Madinah. Kesempatan ini sekaligus kami manfaatkan untuk mengamati perkembangan umrah. Dibandingkan dengan era 1970-an sampai 1980-an antusias umat untuk menjalankan umrah luar biasa. Dulu, kepadatan jamaah di Masjidil Haram yang mirip musim haji hanya pada malam 27 Ramadhan. Kini, kepadatan semacam itu dapat dilihat setiap malam.
Apakah yang mendorong mereka jor-joran menjalankan umrah? Ada beberapa alasan. Pertama, lamanya masa tunggu untuk beribadah haji, menjadi faktor yang menonjol terhadap fenomena umrah masa kini. Kedua, kekurangpuasan ketika menjalankan ibadah haji sehingga mereka mengulanginya dalam bentuk umrah. Ketiga, orang tua memberikan hadiah umrah bagi anak-anaknya yang berprestasi lulus ujian.
Keempat, sebagai simbol gengsi baru, sebab dengan menjalankan umrah berarti di mata masyarakat, yang bersangkutan memiliki nilai plus. Bahkan konon ada paket pernikahan di sisi Ka’bah. Kelima, Makkah dengan fasilitasnya yang mutakhir tampaknya juga mempengaruhi umat untuk berumrah.
Ibadah haji dan umrah diwajibkan kepada umat Islam pada tahun 6 H. Pada tahun itu pula Nabi SAW bermaksud untuk umrah, tetapi gagal karena Makkah masih dikuasai kaum musyrikin. Sejak Makkah dibebaskan 8 H sampai beliau wafat tahun 11 H, Nabi SAW punya kesempatan beribadah haji tiga kali, tetapi beliau melakukannya hanya sekali. Beliau juga punya kesempatan beribadah umrah ratusan bahkan ribuan kali, namun beliau beribadah umrah sunnah hanya dua kali dan tidak pernah dilakukan pada bulan Ramadhan.
Sekiranya Nabi SAW tidak punya uang untuk berhaji tiap tahun dan berumrah tiap bulan, tentu para sahabat yang kaya akan membiayai Nabi SAW untuk hal itu. Tetapi Nabi SAW bukan tipologi orang yang suka minta bantuan. Setelah Nabi SAW tinggal di Madinah, banyak terjadi peperangan. Maka uang Nabi SAW dipakai untuk membiayai jihad fi sabilillah itu. Banyak para sahabat yang gugur sebagai syuhada dalam peperangan, akibatnya banyak janda, orang miskin dan anak yatim.
Nabi SAW mencontohkan dan memerintahkan umatnya untuk menyantuni orang-orang tersebut. Di Madinah juga ada ratusan mahasiswa miskin yang belajar pada Beliau. Nabi SAW mencontohkan dan memerintahkan umatnya untuk menyantuni mereka. Nabi SAW lebih memprioritaskan ibadah sosial daripada ibadah individual, apabila dua ibadah itu hukumnya sunnah.
Di negeri kita, potret kemiskinan ada dimana-mana. Dalam keadaan seperti itu, apakah Islam membenarkan umatnya jor-joran pergi umrah? Sekiranya berhaji dan berumrah ulang adalah sebuah kebaikan, tentulah Nabi SAW telah melakukannya. Kini, permasalahannya kembali pada kita; apakah kita dalam beribadah mau mengikuti contoh dari Nabi SAW, ataukah kita mengikuti selera alias hawa nafsu kita sendiri. Iblis sangat cerdik, maksiat dibungkusnya dengan ibadah.
Apa yang ditulis oleh profesor itu benar sekali. Pengalaman penulis sendiri ketika pada hari pertama berada di Madinah, setelah pertama kali melaksanakan shalat subuh di masjid Nabawi itu, di sepanjang jalan menuju maktab hingga sampai masuk ke dalam kamar masing-masing, setiap berbincang-bincang dengan jamaah dari Indonesia dengan bersemangat mereka akan lebih rajin setelah pulang nanti menabung dan mempersiapkan diri untuk dapat haji lagi atau umrah setiap tahunnya. Pernah juga dalam sebuah forum, seorang pengelola suatu biro perjalanan haji dan umrah dengan penuh percaya diri dan tampak rasa kebanggaannya memperkenalkan diri sudah haji enam kali dan umrah 12 kali. Demikian juga warga masyarakat umumnya jika bertemu sesama kenalan yang sama-sama sudah haji, pertanyaan pertama terkait dengan haji dan umrah, “Berapa kali bapak haji ? Umrah ?” Lalu bagi yang merasa sudah haji dua kali, tiga kali atau lebih, demikian juga umrah akan menampakkan wajah kebanggaan di hadapan orang yang baru haji atau umrah sekali, lebih-lebih kepada orang yang belum pernah sama sekali. Semoga tidak semuanya seperti itu.
Fiqih Prioritas dalam Pelaksanaan Haji dan Umrah
Haji disyariatkan pada akhir tahun 9 H [3] dan hukumnya fardhu (wajib) sekali selama hidup bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat. Para ulama sepakat berdasarkan nas al-Qur’an dan as-Sunnah :
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (آل عمران: 97)
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; {2} Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran, 3 : 97)
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ (البقرة:196)
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah.” (QS. Al-Baqarah, 2 : 196)
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ· لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ (الحج: 27، 28)
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada h ari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj, 22 : 27-28)
بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ (صحيح البخاري 1/ 11)
“Islam dibangun atas lima pilar : bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa Ramadhan.” (Shahih Bukhari, 1 : 11)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ، فَحُجُّوا»، فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللهِ؟ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلَاثًا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لَوْ قُلْتُ: نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ (صحيح مسلم2/ 975)
“Dari Abu Hurairah yang berkata, Rasulullah saw pernah memberikan khutbah kepada kami, lalu khutbah beliau, ‘Hai manusia ! Allah Sungguh telah memfardhukan kepada kalian menunaikan haji, maka tunaikanlah haji itu !’ Seorang sahabat bertanya, ‘Apakah kewajiban itu setiap tahun, wahai Rasulullah ? ‘Beliau saw terdiam hingga sahabat itu mengulangi pertanyaannya tiga kali. Lalu Rasulullah saw menegaskan, ‘Jika aku jawab ‘ya’ maka wajib setiap tahun, tetapi sanggupkah kalian ?’” (Shahih Muslim, 2 : 975)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ الأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ ، سَأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، الْحَجُّ فِي كُلِّ سَنَةٍ أَوْ مَرَّةً وَاحِدَةً ؟ قَالَ : بَلْ مَرَّةٌ وَاحِدَةٌ، فَمَنْ زَادَ فَتَطَوٌّعٌ (السنن الصغرى لأحمد البيهقي 1/ 447، بترقيم الشاملة آليا)
“Dari Ibnu Abbas, bahwa Al-Aqra’ bin Habis pernah bertanya kepada Nabi saw, ‘Wahai Rasulullah, Kewajiban haji itu setiap tahun atau sekali saja ?’ Jawab beliau saw, ‘Sekali saja ! Barangsiapa yang lebih dari itu merupakan kebajikan tathawwu’ (sunnah).’” (Ahmad Baihaqi, As-Sunanu ash-Shaghiri, 1 : 447)
Akan tetapi untuk umrah para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Menurut ulama kalangan Hanafiah dan pendapat yang terkuat dari kalangan Malikiah, umrah hukumnya sunnah muakkadah sekali dalam seumur hidup. Mereka berpendapat demikian karena hadits-hadits yang masyhur yang menyebutkan tentang fardhu-fardhu dalam Islam tidak menyebutkan umrah di dalamnya. Misalnya hadits dari Ibn Umar ra : بني الإسلام على خمس, hadits ini hanya menyebutkan haji, tanpa disertai umrah. Demikian halnya dengan hadits yang riwayatkan Jabir ra., yang menyatakan bahwa seorang Arab badui bertanya kepada Rasulullah saw :
يا رسول الله، أخبرني عن العمرة، أواجبة هي؟ فقال : لا، وأن تعتمر خير لك . وفي رواية : أولى لك.
“Wahai Rasulullah, informasikanlah kepadaku, apakah umrah itu wajib?” Jawab beliau saw, “Tidak ! Berumrah, lebih baik bagimu.” atau dalam riwayat lain, “Berumrahlah, lebih utama bagimu.”
Hadits lain yang digunakan sebagai dalil yang menyatakan hukum umrah sunnah muakkadah adalah hadits dari Abu Hurairah ra :
الحج جهاد والعمرة تطوع
“Haji itu adalah jihad dan umrah adalah kebajikan tathawwu’ (sunnah)” [4]
Sedangkan mayoritas ulama berpendapat yang popular di kalangan Syafi’iah dan juga menurut Hanabillah, umrah hukumnya fardhu (wajib) sebagaimana haji. Ini berdasarkan :
وأتموا الحج والعمرة لله
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah.” (QS. Al-Baqarah, 2 : 196)
Ayat di atas menunjukkan bahwa haji dan umrah merupakan dua hal yang wajib untuk dilaksanakan.
Di samping itu berdasarkan khabar dari ‘Aisyah ra., beliau bertanya kepada Rasulullah saw :
يا رسول الله، هل على النساء جهاد؟ قال : نعم، جهاد لا قتال فيه الحج والعمرة
“Wahai Rasulullah, apakah ada jihad bagi wanita?” Jawab beliau saw, “Ya, jihad yang bukan dalam bentuk perang, yaitu haji dan umrah.”
Menurut Wahbah Zuhaili hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Majah, al-Baihaqi dan yang lainnya dengan isnad yang shahih. Oleh sebab itu Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa pendapat kelompok yang berpendapat umrah hukumnya wajib merupakan pendapat yang lebih kuat, berdasarkan dilalah ayat di atas serta dha’if-nya hadits-hadits yang digunakan oleh kelompok yang berpendapat umrah hukumnya sunnah. [5]
Berdasarkan analisa di atas dan analisa mayoritas ulama yang lain, maka yang lebih rajih (kuat) adalah bahwa hukum umrah itu wajib sekali selama hidup sebagaimana wajibnya haji. [6]
Umrah yang wajib ini adalah umrah yang pelaksanaannya terkait dengan haji, baik haji yang selama ini di masyarakat terkenal dengan istilah haji tamattu, yaitu dengan mengerjakan umrah terlebih dahulu baru mengerjakan haji, dan wajib membayar dam, dengan tahapan pelaksanaannya mengerjakan umrah terlebih dahulu yaitu: ihram umrah (niat umrah) dari miqat, thawaf, sa’i, bercukur/menggunting rambut (tahallul). Selanjutnya melaksanakan haji yaitu: ihram haji (niat haji) di pemondokan, wukuf, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina dan melontar jumrah, menggunting/mencukur rambut (tahallul tsani), thawaf wada’; maupun haji ifrad dengan melaksanakan umrah dan dilanjutkan thawaf wada’, yaitu mengerjakan haji saja, dan tidak wajib membayar dam, dengtan tahapan pelaksanaannya mengerjakan ihram haji dari miqat, thawaf qudum, boleh diteruskan dengan sa’i, wukuf, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina dan melontar jumrah, menggunting/mencukur rambut (tahallul awal), thawaf ifadah, sa’i bagi yang belum melaksanakannya pada thawaf qudum (tahallul tsani), dan bagi yang sudah melaksanakan sa’i pada waktu thawaf qudum tidak perlu lagi melaksanakan sa’i setelah thawaf ifadah setelah selesai melaksanakan haji; dan haji qiran dengan melaksanakan haji dan umrah di dalam satu niat dan satu pekerjaan sekaligus, dan wajib membayar dam, dengan tahapan pelaksanaannya melaksanakan ihram haji dan umrah sekaligus dari miqat, thawaf qudum, sa’i, wukuf, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina, melontar jumrah, menggunting/mencukur rambut (tahallul awal), thawaf ifadah, sa’i bagi yang belum melaksanakannya pada waktu thawaf qudum, thawaf wada’.
Sedangkan umrah selain itu, termasuk yang sekarang banyak dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia dan juga umrah yang disinggung oleh Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub di atas, adalah umrah yang hukumnya sunnah. Umrah sunnah ini dapat dilaksanakan kapan saja tanpa ada batasan waktu dalam setahun, lebih utama di bulan-bulan haji, dan lebih utama lagi di bulan Ramadhan. [7]
Sudah jelas bahwa secara fiqih, haji dan umrah yang hukumnya wajib itu adalah hanya sekali selama hidup. Maka pertanyaan yang muncul, bagaimana hukumnya melaksanakan haji berkali-kali dan juga umrah berkali-kali, sementara Rasulullah saw sendiri hanya haji sekali selama hidup dan umrah empat kali ?
Jika kita menggunakan pendekatan fiqih prioritas (fiqh al-aulawiyyat) –yang menurut Yusuf Qardhawi- merupakan fiqih yang meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya dengan adil, dari segi hukum, nilai, dan pelaksanaannya. Pekerjaan yang mula-mula dikerjakan harus didahulukan, berdasarkan penilaian syari’ah yang shahih, yang diberi petunjuk oleh cahaya wahyu, dan diterangi oleh akal. Sehingga sesuatu yang tidak penting, tidak didahulukan atas sesuatu yang penting. Sesuatu yang penting tidak didahulukan atas sesuatu yang lebih penting. Sesuatu yang tidak kuat (marjuh) tidak didahulukan atas sesuatu yang kuat (rajih). Dan sesuatu “yang biasa-biasa” saja tidak didahulukan atas sesuatu yang utama, atau yang paling utama. Sesuatu yang semestinya didahulukan harus didahulukan, dan yang semestinya diakhirkan harus diakhirkan. Sesuatu yang kecil tidak perlu dibesarkan, dan sesuatu yang penting tidak boleh diabaikan. Setiap perkara mesti diletakkan di tempatnya dengan seimbang dan lurus, tidak lebih dan tidak kurang. [8] Dalam istilah lain, sebagaimana yang diistilahkan oleh Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub, perlunya reorientasi terhadap ibadah yang pahalanya maksimalis dan yang pahalanya minimalis. [9]
Dalam Al-Qur’an dinyatakan :
أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ· الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ· (التوبة: 19، 20)
“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang lalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. At-Taubah, 9 : 19-20)
Ayat tersebut merupakan dalil bahwa berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri lebih utama dari pada haji dan umrah berkali-kali yang hukumnya sunnah. Di samping itu terdapat kaidah di kalangan fuqaha’ :
- Mendahulukan kepentingan yang sudah pasti atas kepentingan yang baru diduga adanya, atau masih diragukan.
- Mendahulukan kepentingan yang besar atas kepentingan yang kecil.
- Mendahulukan kepentingan sosial atas kepentingan individual.
- Mendahulukan kepentingan yang banyak atas kepentingan yang sedikit.[10]
Tentang umrah berkali-kali yang hukumnya sunnah ada dua macam. Pertama, umrah yang dilaksanakan berkali-kali menjelang ibadah haji, yaitu umrah yang dilaksanakan berkali-kali oleh jamaah haji setelah mereka melakukan umrah dalam melakukan haji tamattu’. Umrah ini dilaksanakan dalam rangkaian ibadah haji guna mengisi waktu senggang sebelum melaksanakan ibadah haji pada tanggai 8 Dzulhijjah. Umrah seperti ini juga disebut dengan umrah Makkiyah, yakni umrah yang dilaksanakan oleh jamaah haji dari luar Makkah yang sedang berada di kota Makkah. Mereka keluar dari Tanah Haram seperti Tan’im dan Ji’ranah, lalu melakukan ihram untuk umrah dari tempat tersebut. [11] Kedua, umrah berkali-kali sebagaimana yang banyak dilaksanakan oleh masyarakat kita di luar pelaksanaan haji di sembarang waktu.
Umrah berkali-kali menurut istilah fiqih dikenal tikraru al-umrah. Menurut ulama kalangan Syafi’iyyah, Hanabillah, dan Hanafiah, tidak mengapa (la ba’sa) dilaksanakan dalam satu tahun. Dalilnya adalah adanya hadits bahwa A’isyah pernah dalam satu bulan umrah dua kali sesudah haji atas perintah Nabi saw, di samping hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, bahwa antara umrah yang satu dengan umrah berikutnya merupakan penghapus dosa antara keduanya. Sedangkan menurut ulama Malikiah menghukumi makruh umrah berkali-kali dalam satu tahun. An-Nakha’i menyatakan, “Tidak ada umrah berulangkali dalam satu tahun karena Nabi saw tidak pernah melaksanakannya.” [12]
Berdasarkan analisa di atas, lebih kuat seperti yang dijelaskan oleh pengasuh Tanya Jawab Al-Islam dalam “http://www.muhammadiyah.or.id”, jelas bahwa umrah tersebut dilakukan A’isyah itu sesudah selesai haji dan dalam rangka menyempurnakan umrah sebelumnya. Nabi saw tidak memberikan tuntunan dan tidak menyuruh para sahabat untuk melakukan umrah berkali-kali dalam musim haji sebelum waktu wukuf di Arafah. Oleh karena itu, umrah seperti itu tidak perlu dilaksanakan. Amalan-amalan yang dianjurkan kepada jama’ah haji adalah tadarrus al-Qu’an, memperbanyak do’a atau thawaf di masjidil haram. Adapun melaksanakan umrah selesai ibadah haji boleh saja dilakukan.
Sedangkan untuk umrah berkali-kali yang dilaksanakan di luar haji, dari kajian fiqih prioritas lebih utama jika dananya itu dipergunakan untuk keluarganya yang lain yang belum pernah haji dan/atau umrah tanpa mengurangi pahala jika hal itu dilakukannya sendiri. Lebih utama lagi yang tentunya pahalanya akan lebih besar jika dana itu dipergunakan, misalnya untuk ibadah sosial mengurangi kemiskinan, mendidik anak yatim, dan sejenisnya. Kita tidak mengingkari hadits Muttafaq ‘Alaih :
الْعُمْرَةُ إلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إلَّا الْجَنَّةَ
“Umrah yang satu ke umrah berikutnya merupakan penghapus dosa antara keduanya, demikian juga haji yang mabrur balasannya hanyalah surga.” (Subulu as-Salam, 3 : 396)
Nabi saw dalam sebuah hadits menegaskan :
وَأَنَا وَكَافِلُ اليَتِيمِ فِي الجَنَّةِ هَكَذَا» وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالوُسْطَى، وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا (صحيح البخاري 7/ 53)
“Aku dan orang yang peduli anak yatim masuk surga seperti in -beliau sambil memberikan isyarat dengan jari tengah yang direnggangkan keduanya (seperti membentuk huruf V)-.” (Shahih Bukharim 7 : 53)
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa jaminan pahala umrah berkali-kali hanya diampuni dosa antara waktu satu umrah ke umrah berikutnya dan tidak disebutkan masuk surga atau tidak. Kemudian jaminan pahala haji adalah masuk surga jika mabrur, dan itupun tidak disebutkan surga kelas yang mana. Tetapi untuk ibadah sosial seperti peduli kepada anak yatim secara sharih dijamin masuk surga bersama Nabi saw dan kelasnya dekat dengan beliau saw sebagaimana secara tegas digambarkan dengan dua jari yang membentuk huruf V. Kelas surga seperti ini oleh Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub diistilahkan dengan surga kelas VIP bukan kelas ekonomi.
Dengan demikian menurut kajian fiqih prioritas, seharusnya diprioritaskan ibadah yang pahalanya yang lebih besar dan dijamin secara tegas oleh dalil-dalil yang lebih shahih. Maka lebih utama dana untuk haji dan umrah berkali-kali itu jika digunakan untuk ibadah yang tidak hanya dinikmati manfaatnya oleh individu yang bersangkutan, tetapi dapat dinikmati juga oleh orang lain yang sanagat memerlukannya termasuk dari keluarganya sendiri.
PENUTUP
Kesimpulan
- Badal haji (al-hajj ‘an al-ghair) adalah haji yang dilaksanakan seseorang untuk menggantikan (mewakili) haji orang lain, baik ada hubungan keluarga maupun bukan yang secara fiqih boleh (jawaz) dengan syarat tertentu. Demikian juga mengambil biaya haji, sepanjang untuk pembiayaan yang langsung terkait dengan pelaksanaan haji mulai dari persiapan administrasi, pemberangkatan, pelaksanaan di tempat, dan kepulangannya kembali, dan bukan sengaja untuk kepentingan bisnis yang hanya mementingkan finansial untuk memperkaya diri, hukumnya adalah boleh (jawaz).
- Haji dan umrah hanya wajib dilaksanakan bagi yang memenuhi syarat sekali selama hidup, tetapi hukumnya sunnah (tathawwu’) jika ada kesanggupan melaksanakan lebih dari satu kali, sehingga lebih utama dana yang dimiliki dipergunakan untuk yang lebih penting dan bermanfaat langsung bagi kehidupan sosial keagamaan.
- 3. Umrah berkali-kali ketika melaksanakan haji lebih utama tidak dilaksanakan dan lebih utama melaksanakan ibadah lainnya menurut kesanggupan masing-masing, seperti thawaf di masjidilaharm, tadarrus al-Qu’an, dan memperbanyak do’a.
Rekomendasi
- Perlunya para ulama memberikan pencerahan kepada umat tentang hukum badal haji, serta haji dan umrah berkali-kali, dan kaitannya dengan masalah pengentasan kemiskinan dan kebodohan umat.
- Perlunya lembaga keislaman menerbitkan buku panduan manasik haji dan umrah dengan memprioritaskan yang wajib atas yang sunnah, yang sunnah dengan pahala yang lebih besar atas yang sunnah yang lain, yang lebih shahih dan sharih dalilnya atas yang lain, dan yang lebih disepakati ulama atas yang lain.
- Masyarakat hendaknya tidak mudah memberikan amanah badal haji kepada seseorang, lebih-lebih kepada orang yang belum teruji integritasnya di masyarakat, sebelum konsultasi dengan ulama/ahlinya. Sedang pihak yang menerima amanah tersebut wajib tetap memegang prinsip muwakalah (niyabah) membantu orang lain sesuai dengan ketentuan fiqih, bukan dengan prinsip ijarah mencari keuntungan finansial yang besar, baik untuk diri sendiri maupun untuk suatu lembaga.
Demikian, semoga tulisan ini, paling tidak dapat menjadi bahan pertimbangan semua pihak untuk kemaslahatan umat sehingga dapat mengamalkan ibadah yang ilmiah dan melakukan kajian ilmiah yang amaliah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] Baca Al-Fushul fi as-Sirah, hlm. 227; Ath-Thabari, Tarikhu al-Umam wa al-Muluk, 2 : 210; Adz-Dzahabi, Tarikhu al-Islam, 1 : 332; 2 : 363; Ghazawatu ar-Rasul wa Sarayah, hlm. 83-84; Al-Waqidi, Kitabu al-Maghazi, hlm. 458; Ibnu Katsir, As-Siratu an-Nabawiyyah, 3 : 312; Jawami’u as-Sirah, hlm. 15; Zadu al-Ma’ad fi Hadyi Khairi al-‘Ibad, 2 : 86
[2] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islamu wa Adillatuh, 3 : 399
[3] Ibid., 3 : 398
[4] Ibid., 3 : 408
[5] Ibid.
[6] Baca Nailu al-Maram Syarhu Ayati al-Ahkam, hlm. 44; Mausu’atu al-Fiqhiyyah al-Islami, 3 : 222; Al-Muhalla, 13 : 108-111; ‘Athiyah Salim, Syarhu Bulughi al-Maram, 12: 160; Mukhtashar Muzani, hlm. 63
[7] Mausu’atu al-Fiqhiyyah al-Islami, 3 : 222
[9] http:// http://www.republika.co.id/ berita/ dunia-islam/ hikmah/12/01/12/ lxnuvz-ibadah-minimalis
[10] Ibid., (2 of 14 – 3 of 14)
[12] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islamu wa Adillatuh, 3 : 405