CONTOH KHUTBAH NIKAH (4)
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم.
الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمَبْعُوْثِ بِاْلإِنْذَارِ وَاْلبُشْرَى. وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ صَلاَةً لاَ يَسْتَطِيْعُ لَهَا الْحِسَابُ عُداً وَلاَ حَصْراً. وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
أما بعد:
Hadirin rahimakumullah !
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran, 3 : 102).
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’, 4 : 1)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab, 33 : 70-71)
Hadirin rahimakumullah !
Pernikahan atau perkawinan secara fiqhiah hukum asalnya adalah boleh (jawaz). Tetapi hukum ini dapat berubah menjadi sunnah bahkan wajib, atau makruh bahkan haram, tergantung kondisi subjektif yang bersangkutan. Khatib dalam kesempatan ini tidak akan mengupas masalah hukum pernikahan. Demikian juga tidak akan mengupas hikmah apa saja yang terkandung dalam pensyariatan pernikahan itu bagi kehidupan manusia.
Dalam khutbah nikah ini khatib akan menekankan apa tujuan pokok pernikahan dan apa kata kunci untuk mencapainya menurut al-Qur’an. Semoga bermanfaat, tidak hanya bagi mempelai berdua, tetapi juga untuk para calon mempelai, mempelai baru dan mempelai lama yang ikut hadir menyaksikan acara ini.
Hadirin rahimakumullah !
Tujuan Pokok Pernikahan Menurut Al-Qur’an
Suatu ayat al-Qur’an yang sangat popular tentang pernikahan, khususnya bagi kita warga masyarakat, bangsa Indonesia, adalah yang berbunyi :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (الروم: 21)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum, 30 : 21)
Maaf, jika khatib bertanya kepada hadirin yang ada di tempat ini, yang masih lajang atau gadis dan jejaka, apa tujuan pokok pernikahan ? Cinta ! Membuktikan rasa cinta ! Menindaklanjuti pacaran ! Mempertanggungjawabkan cinta ! Menutupi malu keluarga di masyarakat ! Na’udzu billahi min dzalik ! Jika demikian, adik-adik, anak-anak muda, kalian sebagai muslim sudah siap menikah ? Tentu, sangat-sangat siap, bukan ? Tidak salah, tetapi baru siap secara pisik, secara biologis itu namanya. Sementara secara nonbiologis belum. Agama kita, Islam, tidak mengingkari adanya unsur cinta dalam pernikahan, tentu cinta dalam arti sempit, yaitu yang dalam al-Qur’an (QS. Ali Imran, 3 : 14) distilahkan dengan : zuyyina li an-nasi hubbu asy-syahawati min an-nisa’ (Dijadikan indah pada manusia kecintaan (nafsu) syahwat, yaitu: wanita-wanita …). Tidak salah seorang laki-laki tertarik dan ada rasa cinta kepada wanita, lain jenisnya. Begitu juga sebaliknya. Ini manusiawi, wajar. Justru jika tertarik sesama jenisnya sendiri itu yanng namanya kurang ajar. Na’udzu billahi min dzalik ! Tetapi cinta yang sempit ini bukanlah tujuan pernikahan.
Hadirin rahimakumullah !
Tujuan pokok pernikahan secara jelas disebutkan dalam QS. Ar-Rum, 30 : 21, yaitu : لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً . Secara mudah dipahami : لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا artinya : supaya dapat hidup sakinah; وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً : dan tercipta kehidupan rumah tangga yang mawaddah wa rahmah.
Imam Syaukani misalnya, dalam kitab Tafsirnya Fathu al-Qadir (5 : 464) menjelaskan maksud لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا, yaitu : أي تألفوها وتميلوا إليها (maksudnya bersatu hati dan berkecenderungan hidup menyatu). Dengan kata lain pernikahan itu tujuannya untuk membentuk satuan rumah tangga yang tenang, tenteram dan damai. Dilanjutkan oleh Imam Syaukani : فإن الجنسين المختلفين (karena sesungguhnya dua manusia yang berlainan jenis tanpa diikat pernikahan); لا يسكن أحدهما إلى الآخر (salah seorang dari keduanya tidak dapat hidup sakinah bersama yang lain); ولا يميل قلبه إليه (dan tidak dapat pula menyatu hati dalam satuan rumah tangga).
Ini tujuan pokok pernikahan yang pertama, yaitu sakinah (hidup berumah tangga yang tenang, tenteram, damai). Yang kedua dan ketiga adalah mawaddah dan rahmah. Imam Syaukani dalam tafsirnya Fathu al-Qadir tadi antara lain menyebutkan arti mawaddah adalah al-mahabbah (cinta kasih). Sedang arti rahmah adalah asy-syafaqah (kasih sayang). Dan dikatakan juga al-mawaddah adalah hubu ar-rajulu imra’atahu (cinta kasih seorang lai-laki kepada isterinya), sedang ar-rahmah adalah rahmatuhu iyyaha min an yushibaha bissu’ (kasih sayangnya kepada isterinya dari suatu keburukan yang menimpa isterinya).
Sorang laki-laki kenal dengan seorang wanita, lalu menaruh hati atau perhatian terhadapnya, atau sebaliknya, maka ini namanya cinta kasih yang termasuk hubbu asy-syahawat (kecintaan nafsu syahwat) dan segalanya terlihat indah. Maka tidak heran jika ibarat kacamata yang digunakan untuk melihat adalah kacamata gelap. Maka muncullah istilah “cinta itu buta”. Pokoknya pada waktu baru kenalan, tertarik, bahkan apa yang sering dikenal dengan istilah pacaran di zaman sekarang, apa saja yang dilihat mata semuanya indah. Bagaimana dengan yang kurang, yang buruk-buruk ? Tidak terlihat, tidak diperlihatkan, ditutup-tutupi, atau sengaja ditutupi agar tidak terlihat. Inilah gelora cinta, kecintaan nafsu syahwat ! Dan inilah mawaddah (cinta kasih).
Setelah akad nikah berlangsung, malam pertama ? Jangan ditanya lagi. Malam kedua dan seterusnya sampai satu bulan, semuanya manis, madu. Maka terkenallah istilan “bulan madu”. Inilah mawaddah (cinta kasih). Semakin lama seiring dengan perjalanan waktu, usia pun bertambah, semuanya sudah berubah, tubuh menurun lemah, gigi pilih-pilih dalam mengunyah, konsumsi gula tidak berlebih dan jangan ditambah, di dalam rumah terlihat susah payah, di luar rumah menggiurkan serba indah, akhirnya yang menyatu mulai terbelah, yang kokoh mulai goyah. Inilah mawaddah !
Hadirin rahimakumullah !
Maka tujuan pernikahan yang ketiga melengkapi dan menutupi kekuarangan yang kedua, yaitu rahmah (kasih sayang). Jika mawaddah dapat diibaratkan sebuah piramida yang dimulai dari luas akhirnya semakin ke atas semakin mengecil. Sebaliknya rahmah (kasih sayang) ibarat piramida terbalik, dimulai dari yang sempit atau kecil dan semakin ke atas semakin luas.
Waktu boleh berjalan terus dan memang harus berjalan terus. Usia pernikahan boleh berjalan terus seiring dengan bertambahnya usia manusia itu sendiri. Mawaddah boleh menurun karena kecantikan dan ketampanan juga menurun. Semua fungsi tubuh manusia akan semakin menurun dan kembali seperti sediakala :
وَمَنْ نُعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِي الْخَلْقِ أَفَلَا يَعْقِلُونَ (يس: 68)
“Dan barang siapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian (sediakala). Maka apakah mereka tidak memikirkan?” (QS. Ya Sin, 36 : 68)
Akan tetapi rahmah justru sebaliknya, harus semakin meningkat. Jika kita melihat pasangan suami isteri sedang menunaikan haji misalnya, mereka selalu berdekatan. Suami menggandeng isterinya erat-erat ketika tawaf, berputar tujuh kali keliling ka’bah agar isterinya tidak lepas dan terseret oleh gelombang arus manusia. Demikian juga ketika sa’i dan berangkat dari maktab menuju jamarat, suami selalu mengerahkan segala daya dan upaya agar isterinya tidak lepas. Inilah rahmah atau kasih sayang. Pada waktu makan, isteri memperhatikan suaminya dan belum bisa makan sebelum suaminya makan. Inilah kasih sayang. Semakin tua hati suami siteri semakin menyatu saling memperhatikan, jangan-jangan isteri atau suami sakit atau ditimpa suatu musibah. Semua ini dilakukan bukan karena tubuh yang kuat dan gagah dan bukan pula karena kecantikan dan ketampanan, tetapi karena rasa kasih sayang.
Hadirin rahimakumullah !
Kata Kunci Mencapai Tujuan Pokok Pernikahan
Manusia tidak ada yang sempurna dan kekurangan serta kesalahan tentu ada meskipun sebelum pernikahan, terutama ketika baru menaruh perhatian dan menjalin rasa cinta semuanya terlihat yang baik-baik saja. Semua yang tidak baik tetap dilihatnya sebagai yang baik atau cenderung ditutup agar tidak terlihat. Tetapi setelah kehidupan rumah tangga berjalan dan berbagai kesulitan hidup dirasakannya kecenderungan berubah. Jangankan yang sudah terbuka dan terlihat tidak baik, yang ditup pun sengaja dibuka dan dicari-cari untuk membuktikan ketidakbaikan masing-masing pihak. Jika kondisi ini berlanjut tentu tidak mungkin tujuan pernikahan dapat terwujud.
Saudara calon mempelai berdua yang berbahagia. Tentu Anda bedua telah memahami apa yang akan Anda berdua tuju dengan pernikahan ini. Sebagai muslim, tujuan yang akan Anda berdua tuju adalah membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (hidup tenang, tenteram, damai, penuh cinta kasih dan kasih sayang).
Bagaimana mencapai tujuan itu ? Kata kuncinya disebutkan dalam QS. An-Nisa’, 4 : 19 :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا (النساء: 19)
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’, 4 : 19)
Kata kuncinya adalah mu’asyarah bil ma’ruf. Sayid Thanthawi dalam kitab Tafsirnya Al-Wasith (hlm. 897) menjelaskan arti mu’asyarah bil ma’ruf, yaitu menggauli isteri dengan husnu al-khuluq (akhlak luhur) : menjaga atau melindungi dari hal-hal yang dapat menyakitinya, sabar menghadapi kekeliruan dan kemarahannya, pandai merayu, bercanda, dan bercumbu. Tentu semua ini dilakukan sesuai dengan tingkat pendidikan dan latar belakang adat istiadat sosialnya.
Meskipun perintah mu’asyarah bil ma’ruf ditujukan kepada suami dalam masalah akhlak luhur tetapi juga harus diimbangi oleh isteri. Perintah ini menekankan besarnya tugas pokok dan fungsi seorang suami :
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (البقرة: 228)
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah, 2 : 228)
Dalam kaitannya dengan keseimbangan ini Ibnu Abas pernah berkata :
إِنِّي لَأُحِبُّ أَنْ أَتَزَيَّنَ لِلْمَرْأَةِ كَمَا أُحِبُّ أَنْ تَزَّيَّنَ لِي (السنن الكبرى للبيهقي 7/ 482)
“Aku sungguh suka berhias diri untuk isteri sebagaimana isteri suka berhias diri untukku.” (As-Sunanu al-Kubra lil Baihaqi, 7 : 482)
Hadirin rahimakumullah !
Kesimpulan :
- Suatu pernikahan dalam Islam harus dibangun saling mencintai kedua belah pihak dengan tetap memegang teguh tujuan pokoknya untuk membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (hidup tenang, tenteram, damai, penuh cinta kasih dan kasih sayang) yang diridhai Allah SWT.
- Untuk mencapai tujuan pokok pernikahan kata kuncinya adalah mu’asyarah bil ma’ruf, yaitu menggauli isteri dengan husnu al-khuluq (akhlak luhur) dengan memperhatikan tingkat pendidikan dan latar belakang adat istiadat sosialnya.
بارَكَ اللهُ لِي ولكُمْ فِي القرآنِ العظيمِ ونفعَنِي وإياكُمْ بِمَا فيهِ مِنَ الآياتِ والذِّكْرِ الحكيمِ وبِسُنَّةِ نبيهِ الكريمِ صلى الله عليه وسلم أقولُ قولِي هذَا وأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي ولكُمْ، فاستغفِرُوهُ إنَّهُ هوَ الغفورُ الرحيمُ.
بَارَكَ اللَّهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي الْخَيْرِ. اللَّهثمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ خَيْرَهُمَا وَخَيْرَ مَا جَبَلْتَهُمَا عَلَيْهِمَا، وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِمَا وَمِنْ شَرِّ مَا جَبَلْتَهُمَا عَلَيْهِمَا. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ . وَسَلاَمٌ عَلَى المُرْسَلِيْنَ . وَالحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ .
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته.