SEPENINGGAL RAMADHAN, BERKAH ATAU MUSIBAH ?
Oleh: Hasysa
Belum lama gema takbir, tahlil, dan tahmid sebagai tanda kita merayakan Idul Fitri menghilang dari pendengaran. Umat Islam di seluruh penjuru dunia kini telah melepas bulan Ramadhan sebagai bulan ibadah, bulan pelatihan meningkatkan ketaqwaan dan meningkatkan potensi spiritual mengendalikan hawa nafsu. Sekarang kaum muslimin masih terasa dalam merayakan Idul Fitri. Jika dalam tahun ini ada perbedaan memulai awal Ramadhan tidak perlu dibesar-besarkan dan kita pilih saja mana yang kita yakini, lalu kita tunaikan penuh dengan keimanan dan semata-mata mencari ridha-Nya.
Yang penting bagi kita sekarang adalah mengevaluasi diri (muhasabah binafsih), kemudian menindaklanjuti dari hasil ibadah dan pelatihan yang telah kita laksanakan selama sebulan yang lalu. Namun sayang sekali, hampir semua orang merasa telah berhasil dalam melaksanakan ibadah dan pelatihan selama bulan Ramadhan. Mereka merasa telah memperoleh rahmah, magfirah, dan itqun minannar yang dijanjikan Allah. Jelasnya, mereka banyak yang telah merasa mencapai target ibadah puasa, yaitu taqwa. Demikian juga ibadah lainnya, seperti Qiyam Ramadan (taraweh), tadarus al-Qur’an, dan sadaqah, semua dirasakan seolah-olah telah diterima oleh Allah SWT. Sikap demikian terbukti dengan banyaknya orang menekankan arti Idul Fitri sebagai hari kemenangan, hari keberhasilan mengalahkan hawa nafsu, dan hari kembali suci seperti bayi yang baru lahir. Padahal, benarkah kita telah meraih kemenangan, keberhasilan, dan kesucian tersebut? Jawabnya, Istafti nafsak! Istafti qalbak! Berfatwalah kepada dirimu dan hati nuranimu!
Yaumul Fitri atau Idul Fitri ialah hari orang mukmin telah berbuka (al-fitru) atau menyudahi puasanya. Jika selama sebulan dalam bulan Ramadan mereka tidak boleh makan, minum, dan melakukan hal-hal lain yang dilarang syariat sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, maka sejak Idul Fitri adalah saatnya berbuka (al-fitru), yakni boleh lagi makan, minum, dan lain-lain yang dihalalkan syariat. Jelasnya, Yaumul Fitri ialah berkaitan dengan telah berbukanya orang yang telah berpuasa Ramadan.
Sebenarnya, dalam merayakan Idul Fitri kita harus tetap merujuk pada ketentuan-ketentuan syariat. Artinya, kita tetap mematuhi perintah dan menjauhi larangan Allah.
Saat-saat seperti ini, yaitu dalam melepas Ramadhan dan setelah merayakan Idul Fitri, seharusnya kita kembali melakukan amalan ijtihad (berupaya keras) menyempurnakan amalan di bulan Ramadan yang lalu agar amal ibadah kita diterima Allah dan memperoleh hasil taqwa dan sangat takut jika ditolak-Nya, sebab Allah berfirman:
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ (27)
“Allah hanya menerima amal ibadah orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al-Maidah: 27).
Itulah, ucapan tahnia’ah ‘id yang dilakukan para sahabat Rasulullah apabila berjumpa satu dengan yang lain di hari raya ialah “Taqabbalallahu minna wa minkum” (Semoga Allah menerima amalan kami dan kamu), meskipun boleh-boleh saja menggunakan ucapan-ucapan lain seperti yang sudah mentradisi di masyarakat selama ini, misalnya ucapan “Minal a’idin wal faizin” dan sejenisnya.
Betapa sangat bijaknya seorang ulama salaf pada suatu hari raya terlihat pada wajahnya tanda-tanda kegundahan, maka ditanyakan kepadanya, “Mengapa tuan bermuram durja, bukankah hari ini hari bersenang-senang dan bergembira?” Beliau menjawab, “Benar apa yang telah engkau katakan, akan tetapi saya ini, seorang hamba yang diperintahkan mengerjakan suatu amal. Saya tidak mengetahui apakah amalan yang telah saya kerjakan itu diterima ataukah ditolak Allah.”
Idul Fitri memang hari bergembira, tetapi jangan sampai kegembiraan itu lepas kendali menjurus kepada pemaksaan diri, mengada-ada dalam memenuhi berbagai hidangan dan hiburan, dengan dikemas dalam paket “Idul Fitri” atau “Menyambut Hari Kemenangan”.
Idul Fitri sebenarnya hak orang beriman yang bertambah taqwanya. Maka sebenarnya sedikit sekali orang yang ber-Idul Fitri. Namun, yang banyak adalah orang yang berlebaran. Karena lebaran maka jadilah ajang foya-foya, hura-hura, dan riya’, yang dapat mendatangkan pelbagai dosa. Karena lebaran banyak orang sibuk urusan mudik, semuanya lebar, lebar gajihnya, lebar THR-nya, lebar pengendalian nafsunya, lebar tarawehnya, sadaqahnya, dan pokoknya lebar semuanya. Lebih-lebih lagi jika yang berlebaran itu kita yang ekonominya kelas bawah, maka semuanya lebar, sekarang yang tersisa hanyalah hutangnya dan pusing kepala. Subhanallah!
Mungkin di antara kita ada yang merasa telah kembali suci dan menang atau berhasil karena selama Ramadhan telah berpuasa sebulan penuh, setiap malam ikut ke masjid melaksanakan salat wajib dan sunnat termasuk salat taraweh, semua panti asuhan telah diberinya sadaqah/santunan, dan ibadah-ibadah lainnya. Namun jika setelah Idul Fitri ini kita, misalkan saja masih suka menyakiti tentangga meskipun hanya dengan ucapan, bersikap munafik dalam kehidupan, pelit, kikir, dan tamak, maka rusaklah semua ibadah yang kita lakukan selama Ramadhan tadi. Sebaliknya, jika setelah Idul Fitri ini kasih sayang dan kepedulian kita terhadap tetangga terutama yang tergolong du’afa’ semakin meningkat, kita tidak lagi berbicara dusta, ingkar janji, dan khianat dalam kehidupan, semakin mempererat tali persaudaraan, baik saudara sesama manusia, sesama muslim, sesama bangsa, sesama warga kampung, dan sesama darah daging; semakin meningkat pula kedermawanan dan sikap qana’ah, di samping semakin meningkat pula kualitas dan kuantitas ibadah yang bersifat vertikal (hablun minallah), maka inilah pertanda ibadah-ibadah selama Ramadhan membawa hasil.
Mari kita renungkan kembali hadis-hadis Rasulullah SAW berikut ini:
“Wahai Rasul Allah, wanita Anu terkenal banyak melakukan salat, puasa dan bersedekah, tetapi lidahnya menyakiti hati tetangga”. Ujar Nabi: “la masuk neraka”. Kemudian penanya berkata : wahai Rasul Allah, wanita Anu terkenal sedikit melakukan salat serta puasa, dan memberikan sedekah hanya kepingan keju asam, tetapi tidak menyakiti hati tetangga”. Beliau menjawab: “Ia masuk surga.”
“Tiga hal, jika terdapat pada seseorang, membuat ia menjadi munafik, sungguhpun ia melakukan puasa, salat, haji serta umrah dan mengaku orang Islam; yaitu jika berbicara, bicaranya mengandung dusta, jika berjanji, janji tidak ia tepati dan jika diberi kepercayaan, kepercayaan itu ia salah gunakan.”
“Bertanya Rasul Allah s.a.w.: “Tidakkah kuterangkan kepadamu apa yang lebih tinggi derajatnya daripada puasa, salat dan zakat?”. Para sahabat menjawab: “Tidak”. Kata Nabi: “Memperbaiki tali persaudaraan. Putusnya tali persaudaraan serupa dengan keadaan wanita yang ditimpa kemalangan. Tidak kukatakan: Wanita mencukur rambut, tetapi wanita mencukur agama.”
“Orang pemurah dekat dengan Tuhan, dekat dengan manusia, dekat dengan surga dan jauh dari neraka. Orang yang kikir jauh dari Tuhan, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka. Seorang jahil (tidak tahu) tetapi pemurah lebih disayangi Tuhan daripada ahli ibadah yang kikir.”
Itulah, setelah Idul Fitri ini harus menjadi momen bagi kaum muslimin untuk meperbaharui iman, sebagaiamana sabda Rasulullah SAW:
جَدِّدُوا إِيمَانَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ نُجَدِّدُ إِيمَانَنَا قَالَ أَكْثِرُوا مِنْ قَوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (رواه أحمد)
“Perbaharuilah imanmu ”Ditanyakan oleh sahabat kepada Rasulullah, “Bagaimana cara kami memperbaharui iman kami?” Beliau menjawab, “Perbanyaklah ucapan kalimah tauhid La ilaha illallah.” (HR. Ahmad)
Memperbanyak ucapan kalimah tauhid bukan sekedar lafziyahnya, tetapi mengembalikan dan memperbaharui iman tauhid itu sesuai dengan fitrah asli manusia diciptakan oleh Allah SWT.
Walhasil, apabila setelah Idul Fitri ini kita jadikan momen untuk memperharui iman sesuai dengan fitrah yang telah ditetapkan Allah SWT dan meningkatkan ketaqwaan, maka sepeninggal Ramadan tahun ini akan membawa berkah bagi segala aspek kehidupan. Namun, sepeninggal Ramadhan akan menjadi musibah jika yang terjadi adalah iman dan taqwa kita jalan di tempat, atau bahkan mundur ke belakang.
Wallahu a’lam bish-shawwab.